Lintaspasundan news
SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.( 2024/21/11). Program tax amnesty kembali dihidupkan, kali ini di era Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini menuai sorotan tajam, terutama karena berbarengan dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Banyak pihak mempertanyakan, apakah kombinasi dua kebijakan ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat atau justru menambah beban masyarakat kelas menengah ke bawah?
Mengapa Tax Amnesty Kembali Digulirkan?
Tax amnesty bukan hal baru dalam kebijakan fiskal Indonesia. Di era Presiden Joko Widodo, program ini berhasil menghimpun Rp114 triliun penerimaan pajak tambahan. Tujuannya jelas: meningkatkan kepatuhan pajak, menarik dana dari luar negeri, dan memperluas basis pajak.
Namun, menghidupkan kembali program ini memicu pertanyaan. Apakah kebijakan sebelumnya gagal mencapai hasil jangka panjang? Atau, apakah pemerintah kekurangan anggaran sehingga butuh strategi instan untuk menambal kas negara?
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyebut tax amnesty sebagai cara untuk mendorong keadilan pajak. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, banyak yang khawatir kebijakan ini justru menjadi peluang bagi para pengemplang pajak untuk “cuci dosa” dengan biaya murah.
Rencana Kenaikan PPN Jadi Pemantik Kontroversi
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2024/11/kodim-0612tasikmalaya-gelar-focus-group.html
Di sisi lain, rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% di tahun depan menambah panas polemik ini. Kenaikan PPN langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat luas. Barang kebutuhan pokok, meski dibebaskan dari PPN, tetap terkena dampak kenaikan harga secara tidak langsung.
Masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum pulih dari tekanan ekonomi pasca-pandemi kini harus menghadapi kenaikan biaya hidup. Sementara itu, kelas atas yang menjadi target utama tax amnesty justru mendapat fasilitas “keringanan” untuk menyelesaikan tunggakan pajak mereka.
Ketimpangan Kebijakan Fiskal
Pakar ekonomi mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk ketimpangan fiskal. Menurut mereka, program tax amnesty lebih banyak menguntungkan kelompok kaya, sedangkan kenaikan PPN menambah beban masyarakat umum.
“Tax amnesty adalah insentif bagi pengemplang pajak, sementara rakyat kecil dipaksa membayar lebih lewat PPN. Di mana letak keadilannya?” ujar seorang pengamat kebijakan fiskal.
Jika pemerintah serius ingin meningkatkan penerimaan negara, langkah tegas terhadap pengemplang pajak harus menjadi prioritas. Mengandalkan tax amnesty secara berulang hanya akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mengurangi insentif bagi wajib pajak yang patuh.
Dampak bagi Dunia Usaha
Kombinasi kebijakan ini juga memberikan efek domino pada dunia usaha. Kenaikan PPN akan menambah biaya operasional, terutama bagi sektor perdagangan dan manufaktur. Para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi dikhawatirkan menjadi korban utama kebijakan ini.
Meski pemerintah mengklaim tax amnesty akan membawa dana segar ke dalam negeri, para pelaku usaha tetap merasa skeptis. Mereka mempertanyakan apakah dana tersebut benar-benar akan dialokasikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi atau hanya untuk menutup defisit anggaran jangka pendek.
Bagaimana Nasib Rakyat?
Bagi rakyat kecil, kebijakan ini dirasakan semakin menjauhkan dari rasa keadilan. Kenaikan harga barang dan jasa karena PPN akan menggerus daya beli mereka. Sementara itu, kelompok pengemplang pajak menikmati peluang tax amnesty dengan tarif yang relatif rendah dibandingkan penalti yang seharusnya mereka tanggung.
Jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa perbaikan signifikan, dikhawatirkan akan muncul ketidakpuasan sosial yang lebih besar. Masyarakat mulai mempertanyakan, siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh kebijakan fiskal pemerintah ini?
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2024/11/patroli-sat-samapta-polres-tasikmalaya.html
Kesimpulan
Hidupnya kembali tax amnesty di era Prabowo beriringan dengan kenaikan PPN 12% menciptakan polemik besar. Meski tujuan kebijakan ini adalah untuk menambah penerimaan negara dan menciptakan keadilan pajak, dampak langsungnya dirasakan lebih berat oleh masyarakat kecil.
Pemerintah perlu berhati-hati agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang. Transparansi, pengawasan ketat, dan alokasi dana yang tepat menjadi kunci agar kepercayaan publik tidak semakin terkikis. Jika tidak, tax amnesty hanya akan menjadi simbol keistimewaan bagi yang berpunya, sementara rakyat jelata terus menanggung beban berat.
IWAN SINGADINATA.
#THEWORLD,#INDONESIA,#WESTJAVA,#PUBLIK