Lintaspasundan news com
SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(2025/12/02). Acep Sutrisna, analis GATRA Tasik Utara, mengatakan saat ini ditengah sorotan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah, kini muncul sebuah drama yang seolah-olah menjadi panggung sandiwara baru: Pemadaman listrik simbolis yang dilakukan seorang Menteri ESDM RI Bahlil Lahadalia, tentunya aksi ini diklaim sebagai bentuk kepedulian terhadap penghematan energi atau solidaritas terhadap krisis tertentu.
Namun, apakah benar semacam itu sebuah bentuk empati atau hanya sekadar trik murahan yang konyol ! untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap masalah yang lebih substansial ?.
Memadamkan Lampu, Tapi Bukan Korupsi.
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2025/02/pengajian-silaturahmi-antar-ormas-dan.html
Bayangkan, ampu-lampu dimatikan sejenak di hadapan kamera, disertai pidato penuh empati tentang "penghematan anggaran" atau "krisis energi." Sementara di balik layar, anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru mengalir ke kantong-kantong pribadi para pejabat. Drama ini bukan hanya soal lampu yang mati, melainkan tentang bagaimana rakyat diminta "berhemat" sementara para penguasa justru hidup mewah dengan fasilitas negara.
Pertanyaannya sekarang, Apakah rakyat sebodoh itu akan tertipu dengan simbolisme sederhana dengan mematikan lampu?, perlu diingat ! Rakyat tidak butuh drama. "Yang mereka butuhkan adalah transparansi, pengelolaan anggaran yang jujur, dan kebijakan yang nyata terasa manfaatnya. Bukankah lebih efektif jika energi untuk membuat drama seperti ini dialihkan untuk memastikan anggaran negara tidak dikorupsi?
Narasi Palsu di Balik Cahaya Redup
Strategi seperti ini bukan hal baru. Sejarah politik penuh dengan simbol-simbol palsu yang dimaksudkan untuk menunjukkan kesederhanaan atau kepedulian, padahal hanyalah topeng untuk menutupi kebobrokan di baliknya. Mematikan lampu tidak membuat korupsi berhenti. Menghemat listrik tidak menghentikan kebocoran anggaran.
Sebaliknya, rakyat semakin cerdas. Mereka tahu bahwa aksi simbolis tanpa tindakan nyata hanyalah omong kosong. Mereka menginginkan bukti nyata—laporan keuangan yang transparan, penggunaan anggaran yang jelas, serta pejabat yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2025/02/antara-jawa-dan-sunda-berbeda.html
Pesan untuk Para Pejabat: Rakyat Tidak Butuh Drama.
Daripada sibuk menciptakan gimmick murahan dengan mematikan lampu di depan kamera, lebih baik pastikan anggaran negara tidak dikorupsi. Rakyat tidak peduli apakah Anda makan di warteg atau restoran mewah selama Anda tidak mencuri uang mereka. Mereka tidak peduli apakah Anda naik mobil mewah atau sepeda ontel, selama Anda memastikan anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak raib entah ke mana.
Keadilan sosial bukan tentang simbolisme. Ini tentang kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tentang keberanian melawan korupsi, dan tentang integritas yang tidak bisa dipadamkan seperti saklar lampu.
Kesimpulan:
Di era informasi ini, rakyat tidak semudah itu dibodohi. Mereka lebih tertarik pada kinerja nyata daripada drama politik. Jadi, jika para pejabat masih berpikir bahwa pemadaman lampu bisa menipu mereka, mungkin yang benar-benar “padam” adalah akal sehat para pejabat itu sendiri.
IWAN SINGADINATA.
(KONTRIBUTOR BERITA DARTAH)
#NASIONAL,#INTERNASIONAL,#PUBLIK